Kalau kamu ingin langit
mengantarkan hujan, mengapa mengundang matahari berterik? Aku di sini menanti,
menunggu dalam ketidakpastian. Mengharap hujan dimusim kemarau. Bodohnya, aku
bersabar untuk itu.
“Saya kembali, tidak kurang dari
dua tahun. Jangan nakal, bersabarlah dengan keadaan”. Janjimu menguburku dalam
penantian yang dalam.
Diamku sebagai isyarat, aku akan
mencoba untuk menjadi yang kamu mau. Ini berat, namun bisa dijalani.
Penantian bukanlah sebuah
pekerjaan yang menyenangkan. Aku sendiri disini menghadapi semua hater,
mengeroyok dari segala sisi. Meminta untuk menyerah pada waktu. Dan aku,
seperti sebelumnya. Menaati semua maumu. Bersabar.
Keadaan yang menghimpit, membuat
sesak di dada. Memaksa saya mengeluh dengan waktu yang berjalan lambat. Setiap
hari aku meminta untuk berjalan lebih cepat, seperti pusaran angin yang
menerbangkan atap rumah. Dan itu kesia-an. Dimana saya bisa memetik pohon dari
kesabaran, jika pohon itu terlalu tua, tidak produktif.
Semakin aku mencoba bersabar,
semakin banyak orang menertawakan. Mereka meminta janji untuk dipenuhi. buah
yang dipanen sebelum jatuh dari pohonnya. Dan aku bisa apa dalam penantian ini?
Hanya satu yang aku bisa.
Pura-pura bodoh dan tidak mampu berbuat apa-apa selain bersabar.
Dua tahun akan berakhir,
lamaranmu tidak kunjung datang. Bukan lamaran, namun kabar darimu tidak kunjung
datang. Aku berdiam mulai meminta jawab dari sebuah pohon kesabaran yang aku
tanam sendiri. Terlihat seperti pahit.
Aku terus meminta dengan bertanya
dan jawab yang ada tidak menjawab semua apa aku tanyakan. Kelelahan itu tiba di
puncak penantian tanpa ada kamu disana. Janji itu kau kubur bersama hati ini
dan membusuk termakan waktu.
Biarkan dia membusuk sebagai kompos makanan cacing dan
tanaman agar tumbuh subur.
Hati ini telah kubiarkan kau curi dengan kata manis. Biarkan
saja dia terbengkalai olehmu.
Comments
Post a Comment