Kamu mau jadi apa kelak? Jadi
super star. Bintang ikalan yang tayang di tivi-tivi atau main film bareng artis
beken. Hidup terasa menyenangkan jika kita melihat kedepan. Sayangnya, seiring
bertambahnya usia, bertambahnya wawasan cita-cita menjadi terasa aneh bagi
wanita dewasa seperti ini. Tuntutan sosial yang menggariskan tradisi istri
sayang suami kadang melenyapkan cita-cita yang diukir lewat goresan pensil.
Cita-cita terbang bersama isi
otak yang sudah melayang-layang ke angkasa kedewasaan. Melayang bersama
tuntutan yang menghantui hari-hari dengan menambah tingkat kestressan. Tekanan
secara sosial dan kultur menjadikan seorang wanita bimbang. Ingin menghadang
derasnya arus mileneal yang menyapu rata bersama hal lainnya yang terikut
serta. Saya perempuan, apakah cita-cita masih ada dan akan tersalurkan?
Perkara bukan lagi pada kemampuan
dan skill namun bagaimana sebuah progress yang menghasilkan skill tanpa batas
dengan upgrade intensif. Disamping itu, dukungan para teman dan keluarga
menjadi hal utama saat kita mulai merajut asa.
Aku bingung dengan perkara yang
telah mejalar di diri kehidupan sosial masyarakat bahwa sebuah kata belajar
menjadi ajang sebuah apresiasi terhadap tempat, dimana dia bersekolah bukan
sebuah apresiasi terhadap kemampuan seorang untuk terus meng-upgrade sebuah
potensi yang terus berdenyut melalui nadi.
Sehingga aliran positif dari hakikat pemberian yang maha Baik hilang mati
dengan tanpa sengaja. Seperti mencabuti bulu pada ayam yang masih hidup.
Matilah dia tanpa menyebut kematian terlebih dahulu. Mati secara perlahan,
semestinya.
Membingungkan saat manusia
berkata aku sekolah hanya untuk sebuah uang goceng yang diperebutkan.
Mengais-ais ijasah dengan menyebut sebuah title yang dibuat-buat. Kamu sarjana,
lantas apakah kamu bisa membuat orang menjadi lebih sarjana setidaknya engkau memutar
otak untuk sebuah bagian dari lini kehidupan yang lebih baik. Mengapresiasikan
diri dalam bentuk karya yang diakui, oh tidak diakui tapi lebih kebermanfaatan
terhadap lingkungan atau orang lain. Bagaimana, kamu bisa sarjana? Lebih membebalkan,
jika tantangan itu diterima untuk mempermalukan diri. Apa yang salah? Apa yang
salah dengan diri jika tidak mampu berbuat? Berhentilah menyalahkan lingkungan
masyarakat yang homogen dan penuh ketidakteraturan.
Sebut saja, generasi setelah
kita.
Cita-cita yang hilang ditelan keponggahan dan masih hidup diantara bayang-bayang perjuangan masa lalu. Diserahkan pada yang kuasa dari seorang yang sedang mempermalaskan diri didepan kehidupan digital. Jika saja sebuah ruang tidak terbuka kembali dan tidak dapat diulur untuk menerima siapa yang akan mengabdikan diri pada nestapa yang datang terlalu pagi bersama sesal. Harus diteguk meski bercampur racun. Alangkah menyedihkan hidup ini, tumbuh membesar hanya bisa beringsut dari ketidakpastian tanpa prediksi yang terukur. Seperti anak gajah yang tetap menjadi gajah. Seperti kutu yang tidak pernah menyesap manisnya kopi tanpa gula. Semua hanya hasil dulangan para tetua.
Cita-cita itu adalah kemampuan diri yang terus teraktualisasikan sesuai generasi kekinian. Terus berlanjut dan memberdayakan sebuah semangat yang merubah tatanan kehidupan. Merangkai sebuah kehidupan dengan melihat bahwa semua bisa dirubah disesuaikan dengan tuntutat zaman. Mengikuti standar kualitas hidup yang lebih baik tanpa menyangsikan kehidupan masa lalu.
Saya terus menyadari, saat mata dan tangan tidak ditempatnya dan masih terus berjalan entah kemana. Menari dengan liar membelah belenggu yang disiksa oleh awan. Disitu aku melihat ketenangan dari kehidupan itu tidak ada, kecuali engkau berusaha membuat tenang diri kamu dengan berbagai macam kemampuan yang kamu tanam sehingga kamu bisa menempatkan diri dengan tennag ditengah gejolak penyiksaan batin
Comments
Post a Comment